Sri Sultan Tolak Dampingi JK

24 Februari, 2009

Sri Sultan Ingin Jadi Presiden
Tolak Jadi Cawapres Jusuf Kalla

JAKARTA (Radar Pemilu) – ADANYA pernyataan kesediaan Jusuf Kalla (JK) menjadi calon presiden tidak menggoyahkan kader Partai Golkar yang lain untuk ikut bersaing. Di antaranya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Raja keraton Jogjakarta itu secara tegas menolak dipasangkan sebagai calon wakil presiden (cawapres) JK. Padahal sebelumnya, Ketua DPP Partai Golkar, Proyo Budi Santoso sudah mewacanakan untuk memasangkan Sultan sebagai cawapres pendamping Kalla.
”Sikap saya sampai saat ini tetap declare sebagai capres,” kata Sultan di kediamannya, Jalan Suwiryo, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (23/2). Ia menyebut duet capres-cawapres dari satu partai yang sama bukan pilihan politik yang strategis.
”Bukankah lebih baik berkoalisi untuk memperkuat pemerintahan,” cetusnya. Menurut Sultan, sekalipun perolehan suara Golkar pada pemilu legislatif nanti mampu mencapai 25 persen suara nasional sehingga bisa mengajukan pasangan capres-cawapres sendiri, Golkar harus merangkul kekuatan lain.
”Kalau di bawah 25 persen, tentu harus berkoalisi. Kalau lebih dari 25 persen, biarpun bisa mengajukan sendiri, apa tetap harus berdiri sendiri,” ujar anggota Dewan Penasihat Partai Golkar itu.
Sultan mengaku tengah mempersiapkan diri mengikuti penjaringan capres Partai Golkar. ”Saya bangun komunikasi dengan DPD-DPD Golkar, apa mungkin nama saya dimasukkan dalam pencalonan,” ungkapnya.
Tapi, bagaimana kalau akhirnya tidak menang di penjaringan itu? ”Kalau memang ada partai lain yang mau mengusung dan partai itu dapat 20 persen, saya maju lewat situ,” jawab Sultan, mantap.
Sayang, ketika ditanya tentang ”partai lain” itu, Sultan enggan menjelaskan lebih jauh. ”Saya tidak bisa jelaskan karena itu sama saja dengan saya buka baju. Tapi, mendekati 9 April, manuver politik semakin menarik dan konstalasi politik semakin cepat,” katanya. Yang jelas, partai yang mendukung Sultan secara terbuka adalah Partai Republikan.
Dalam kesempatan itu, Sultan juga mempersoalkan angka 30 persen yang dipatok Golkar sebagai target perolehan suara pemilu legislatif. ”(Target, Red) itu mesti keliru,” ujarnya.
Meski pada Pemilu 2004 Golkar bisa merebut 21 persen suara dan ada tambahan jumlah pemilih nasional, menurut dia, paling banter Golkar hanya bertambah 5 persen. Apalagi, sistem penetapan caleg terpilih ditentukan dengan sistem suara terbanyak.
Menanggapi itu, Ketua DPP Partai Golkar Firman Subagyo justru merasa bingung terhadap kader partai berlambang beringin tersebut. ”Ketika Partai Demokrat tidak mencalonkan JK sebagai cawapres, kita sewot. Sekarang, Pak JK sudah dicapreskan, sewot lagi. Ini bagaimana sebenarnya yang betul itu,” katanya.
Karena itu, menurut Firman, semua pencapresan Partai Golkar diserahkan kepada mekanisme yang ada. Yakni, melalui rapimnas yang akan digelar setelah pemilu legislatif. ”Semuanya, yang jelas, berhak mencalonkan atau mendeklarasikan diri. Boleh-boleh saja. Tapi kalau resmi dari Golkar, ya harus menunggu rapimnas,” tegasnya. (jpnn/yra)